Rumah Betang
Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang
terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai
yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai
merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan
berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang
dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau
melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya
berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling
menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).
Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi di
berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter dan
lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk
panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya
bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya
banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai
di Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih
dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas
hunian tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik
(ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di
samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal
yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal
ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat
pemukiman penduduk.
Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak,
sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan
orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam
kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap
kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis
diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat.
Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan,
suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama
yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan
(komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari
perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa
suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak
menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.
Rumah Betang
Tetapi pada masa sekarang pun banyak orang luar
(bahkan orang Indonesia sendiri) beranggapan bahwa suku Dayak adalah
suku yang tertutup, individual, kasar dan biadab. Sebenarnya hal ini
merupakan suatu kebohongan besar yang diciptakan oleh para colonial
Belanda waktu masa perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk memecah belah
persatuan dan kesatuan terutama di antara suku Dayak sendiri yang pada
saat itu menjunjung tinggi budaya rumah Betang. Dan kebohongan tersebut
masih dianggap benar sampai sekarang oleh mereka yang tidak mengenal
benar orang Dayak. Sebagai contoh, tulisan karya orang Belanda bernama
J. Lameijn yang berjudul Matahari Terbit, dimana tulisan tersebut sangat
merendahkan martabat masyarakat Dayak. Bagian tulisan itu sebagai
berikut.
“ …. Setelah habis pertcakapan itu, cukuplah
pengetahuan saya tentang orang Dayak. Sebelum itu saya sudah tahu, bahwa
orang Dayak itu amat kasar dan biadab tabiatnya. Kalau tiada terpaksa,
tiadalah saja berani berjalan sendiri ditanahnya, karena tentulah saja
akan kembali tiada berkepala lagi”.
Citra buruk masyarakat Dayak di perparah lagi dengan
timbulnya kerusuhan-kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan yang di
ekspos besar-besaran hingga keluar negeri (terutama melalui media
internet) tanpa memandang sebab sebenarnya dari kerusuhan tersebut hanya
memandang berdasarkan pembantaian massal yang terjadi, seperti
kerusuhan di Kalimantan Barat (Sambas) dan Kalimantan Tengah (Sampit dan
Palangkaraya). Saya sendiri berada di kota Sampit saat kerusuhan
pertama kali pecah tanggal 18 Februari 2001 dan 2 hari kemudian saya
berada di Palangkaraya, saat itu saya masih kelas 3 SMP. Berdasarkan
pandangan saya atas kerusuhan etnis di Sampit dan Palangkaraya, dimana
disini saya tidak berpihak pada suku manapun tapi saya lebih melihat
berdasarkan fakta yang ada di lapangan selama saya tinggal di Sampit
dari saya kecil hingga saat pecahnya konflik Sampit. Kerusuhan tersebut
bukanlah akibat adanya tokoh-tokoh intelektual yang ingin mengacaukan
keadaan atau perasaan cemburu suku Dayak karena etnis tertentu lebih
berhasil dalam mencari nafkah di Kalimantan, tetapi lebih kepada
terlukanya perasaan masyarakat Dayak yang dipendam selama bertahun-tahun
akibat tidak di hargainya budaya Betang yang mereka miliki oleh etnis
tertentu, hingga perihnya luka tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh
masyarakat Dayak dan akhirnya mengakibatkan pecahnya konflik berdarah
tersebut. Seharusnya etnis tertentu tersebut lebih memahami pepatah
“Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, bukannya bersikap
arogan dan ingin menang sendiri serta tidak menghargai budaya lokal
(budaya rumah Betang yang menjunjung nilai kebersamaan, persamaan hak,
saling menghormati, dan tenggang rasa ).
Kini, rumah betang yang menjadi hunian orang Dayak
berangsur-angsur menghilang di Kalimantan. Kalaupun masih bisa ditemukan
penghuninya tidak lagi menjadikannya sebagai rumah utama, tempat
keluarga bernaung, tumbuh dan berbagi cerita bersama komunitas. Rumah
Betang tinggal menjadi kenangan bagi sebagian besar orang Dayak. Di
beberapa tempat yang terpencar, rumah Betang dipertahankan sebagai
tempat untuk para wisatawan. Sebut saja, misalnya di Palangkaraya
terdapat sebuah rumah Betang yang dibangun pada tahun 1990-an tetapi
lebih terlihat sebagai monumen yang tidak dihuni. Generasi muda dari
orang Dayak sekarang tidak lagi hidup dan dibesarkan di rumah Betang
(termasuk saya sendiri). Rumah Betang konon hanya bisa ditemukan di
pelosok, pedalaman Kalimantan tanpa mengetahui persis lokasinya.
Pernyataan tersebut tentu saja mengisyaratkan bahwa rumah Betang hanya
tinggal cerita dari tradisi yang berasosiasi dengan keterbelakangan dan
ketertinggalan dari gaya hidup modern.
Bukit Batu
Cerita panjang yang melatar belakangi munculnya pertapaan Bukit Batu tersebut diawali dengan kisah seorang penduduk desa Tumbang Liting yang bernama Burut Ules. Ia seorang yang bakaji . Pada suatu hari, seorang diri ia pergi menuju ke suatu tempat untuk membuka lahan perladangan. Tanpa kawan, ia kerja keras, membabat hutan, membangun pondok untuk tempat beristirahat, tanpa melupakan tradisi leluhurnya yaitu memohon izin terlebih dahulu kepada segala mahluk yang tidak terlihat oleh mata jasmani, penunggu daerah tersebut.
Suatu siang ketika Burut Ules merasa lelah, beristirahatlah ia sejenak di bawah sebuah pohon rindang yang tinggi dan telah berusia ratusan tahun. Dengan posisi tiduran sambil berbantalkan tangan, matanya menerawang jauh ke depan. Matahari bersinar terik, namun karena berada di rimba raya, sepoi-sepoi angin menyentuh lembut kulitnya, sejuk terasa, dan kantuk mulai datang menyerang. Akan tetapi ketika Burut Ules nyaris terlelap, ia terperanjat dan langsung melompat bangkit.
Dilihatnya tujuh perempuan cantik yang sangat menawan turun dari langit langsung menuju telaga yang ada didekatnya. Saat itu hujan rintik-rintik namun matahari masih bersinar dengan teriknya. Menyaksikan hal tersebut dengan mengendap-ngendap Burut Ules mendekati telaga. Sambil bersembunyi ia mengintip rombongan kecil tersebut. Gadis-gadis itu langsung membuka pakaian, besaluka tanpa penutup dada, dan terjun berenang, ceria, penuh tawa canda nan meriah.
Burut Ules terpana, mata tak berkedip menyaksikan pemandangan itu. Salah seorang yang nampak paling muda dalam kelompok itu, gerak geriknya membuat Burut Ules sangat terpesona. Tanpa sepengetahuan si gadis, matanya menatap tajam ke arah sang dara. Saat itu juga Burut Ules langsung jatuh cinta.
Setelah puas mandi dan berenang, kelompok kecil itu naik ke darat, kembali berpakaian dan melompat ke angkasa menuju langit. Sejak saat itu Burut Ules menjadi susah, resah, gelisah. Ia sangat menyesali dirinya mengapa pada saat itu tidak langsung memeluk si perempuan bungsu yang sedang mengenakan pakaiannya seusai mandi, padahal jarak antara mereka tidak jauh. Rasa sesal tersebut sangat menderanya hingga tidur tak nyenyak makan pun ia tak kenyang.
Suatu hari ketika matahari sedang bersinar terik dan turun hujan rintik-rintik, bergegas Burut Ules ke semak-semak menunggu dan mengamati telaga tempat idaman hatinya mandi. Usaha dan penantiannya tidak sia-sia, tidak lama kemudian di angkasa terlihat buah hatinya dengan saudara-saudaranya menukik menuju telaga. Menyaksikan hal tersebut, jantung Burut Ules nyaris copot. Pelan-pelan Burut Ules menarik nafas panjang untuk menenangkan diri.
Kemudian Burut Ules melihat adegan ulangan yang pernah ia saksikan. Ketujuh dara yang baru tiba langsung membuka pakaian, dengan ceria terjun ke telaga, mandi sambil berenang, penuh tawa ria. Namun ketika mereka menginjak tanah kembali untuk berpakaian, ketika itu pula Burut Ules mendadak muncul diantara mereka dan serta merta memeluk buah hatinya. Kepanikan pun terjadi, kelompok kecil tersebut tergesa-gesa memakai pakaiannya masing-masing langsung lompat menuju langit dengan meninggalkan si adik bungsu yang ketakutan dalam pelukan erat Burut Ules.
Ketika semua kakaknya telah pergi meninggalkannya, si bungsu berkata kepada Burut Ules: “Mengapa aku kau sekap? Apa salahku? Dan apa maumu? Bila kau ingin membunuhku, silahkan bunuh aku, aku tak akan melawan”.
Burut Ules tak mampu menjawab pertanyaan beruntun itu, ia hanya menjawab singkat, bahwa ia mencintai dan ingin menikahinya. Si bungsu langsung membalas pelukan Burut Ules dan resmilah mereka menjadi suami isteri.
Selanjutnya Burut Ules sibuk menyembunyikan pakaian yang pernah dipakai oleh isterinya saat pertama mereka bertemu. Ia khawatir isterinya akan meninggalkannya apabila pakaian tersebut dipakai lagi oleh isterinya. Untuk selanjutnya pakaian baru yang terbuat dari kulit kayu, yang ia berikan kepada isterinya. Singkat cerita, isteri Burut Ules hamil dan lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama... . Burut Ules hidup bahagia bersama anak dan isterinya.
Suatu hari muncul seorang pemuda, mamut menteng, hitam, tinggi besar mengunjungi keluarga itu. Isteri Burut Ules mengenalkan kepada suaminya bahwa pemuda tersebut adalah salah seorang saudaranya yang datang untuk mengunjungi mereka. Burut Ules menerima kehadiran pemuda tersebut dengan baik, bahkan pemuda itu diizinkan turut menginap di rumahnya.
Namun, lama kelamaan Burut Ules merasa curiga karena setiap mandi di telaga, mereka selalu pergi berdua, berenang ceria, dan hanya berdua. Anak mereka yang masih bayi ditinggal begitu saja di gubuk. Rasa cemburu mulai muncul, namun apabila Burut Ules menanyakan hal tersebut, isterinya selalu memberikan jawaban yang sama, bahwa pemuda tersebut benar saudaranya.
Teguran untuk mandi renang berdua di telaga telah diberikan, namun acara renang bersama tetap juga berlanjut. Timbul kemarahan Burut Ules.
Suatu hari, pada saat yang tepat, Burut Ules menikam pemuda hitam tinggi besar tersebut dengan tombak hingga tewas dan seketika jasadnya gaib. Sekalipun tombak yang dipakai untuk membunuh telah disembunyikan, namun hal itu diketahui juga oleh isterinya.
Ketika Burut Ules pulang ke rumah, dijumpainya isterinya berdiri di hejan sambil menggendong anak lelaki mereka satu-satunya. Ketika melihat Burut Ules datang, dengan nada penuh duka isterinya mengatakan bahwa ia sangat sedih dan kecewa karena suaminya tidak lagi mempercayainya bahkan tega membunuh saudaranya. Oleh karena itu ia bertekad untuk pulang ketempat asalnya dengan membawa serta putra mereka.
Sebelum pergi, masih sempat isterinya berpesan bahwa kelak dikemudian hari apabila anak turunan Burut Ules membutuhkan bantuannya, maka anak semata wayang mereka akan selalu siap membantu. Dikatakan pula bahwa kelak apabila anak mereka telah dewasa, ia tidak dapat hidup dan berdiam di alam dimana ibunya berada karena ayah dan ibunya berasal dari alam yang berbeda. Oleh karena itu apabila anak mereka telah dewasa, ia akan kembali ke alam ayahnya. Setelah berkata demikian anak dan ibu lenyap dari pandangan mata Burut Ules dan Burut Ules menjadi sedih tak terhingga.
Sesal kemudian tak berguna. Burut Ules mencoba bangkit dari kesedihannya. Hari-harinya ia habiskan untuk kerja keras, letih tidur dan kerja lagi, kerja, kerja, dan terus bekerja. Begitu seluruh waktunya ia lalui untuk bekerja mengurus ladang, menangkap ikan, dan banyak kegiatan lain yang ia lakukan.
Waktu berlalu, sedikit demi sedikit Burut Ules mampu bangkit kembali dari kesedihan akibat ditinggal pergi oleh isteri dan anaknya. Kemudian kawinlah ia dengan anak Kutat. Dari perkawinan ini lahirlah dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Diyakini bahwa hingga kini Burut Ules tidak pernah meninggal dunia tetapi gaib ke alam lain.
Suatu hari di Teluk Derep, Tumbang Kasongan, terdengar suara gemuruh halilintar memekakkan telinga. Petir kilat sambar menyambar. Saat itu sebuah batu besar diturunkan dari langit. Diyakini bahwa anak Burut Ules yang telah gaib bersama isteri pertamanya, saat itu telah dewasa. Sesuai janji, apabila telah dewasa ia akan kembali ke alam tempat bapaknya bertempat tinggal, maka janji itu telah ditepati. Batu yang diturunkan dari langit yang kemudian terkenal dengan nama Bukit Batu diyakini sebagai tempat kediamannya, walau tak terlihat dengan mata jasmani, namun ia ada di sana sebagai Raja dan penguasa daerah tersebut.
2. Pertapaan Tjilik Riwut
Riwut Dahiang yang bertempat tinggal di daerah Sungai Sala, sangat mendambakan anak laki-laki. Keinginan tersebut demikian kuat dan mendalam. Walau berkali-kali Piai Riwut isterinya telah melahirkan anak, namun apabila anak laki-laki yang lahir, selalu saja meninggal dunia dalam usia balita. Keinginan yang sedemikian kuat membawa Riwut Dahiang bermohon dengan khusuk kepada Hatalla . Maka pergilah ia menuju ke suatu tempat keramat yaitu Bukit Batu.
Di tempat itu Riwut Dahiang balampah dan bermohon untuk diberikan seorang putera laki-laki. Wangsit yang diperoleh menyatakan bahwa kelak di kemudian hari putra lelaki yang sangat didambakan itu akan mengemban tugas khusus bagi masyarakat sukunya.
Tanggal 2 Pebruari 1918, anak laki-laki yang sangat diharapkan lahir dengan selamat di sebuah kebun durian Kampung Katunen Kasongan Kalimantan Tengah.
Sejak kecil oleh ayahnya, Tjilik Riwut sering diajak ke Bukit Batu sehingga bagi Tjilik Riwut kecil tempat itu sudah tidak asing lagi baginya. Setelah melampaui usia balita, ketika sedang bermain-main dengan teman seusia, terkadang Tjilik Riwut begitu saja pergi meninggalkan teman-temannya menuju Bukit Batu. Entah apa yang ia lakukan disana, tak seorang pun tahu.
Ketika menginjak usia remaja, Tjilik Riwut mulai mengikuti tradisi orang tuanya, pergilah Tjilik Riwut seorang diri menuju Bukit Batu. Di Bukit Batu ia balampah. Wangsit pertama yang ia peroleh mengarahkannya untuk menyeberang laut menuju pulau Jawa. Ketika itu komunikasi dan transportasi dari pedalaman Kalimantan ke Jawa amatlah sulitnya. Dapat dikatakan hanya impian. Jangankan ke pulau Jawa, menuju Banjarmasin yang juga berada di pulau yang sama yaitu Kalimantan membutuhkan perjuangan.
Tjilik Riwut tak kenal putus asa, halangan dan kesulitan yang menghadang ia anggap sebagai tantangan. Segala macam cara telah ia lakukan baik berjalan kaki menerobos rimba, naik perahu dan rakit, asalkan bisa mencapai pulau Jawa. Akhirnya sampai juga ia ke Banjarmasin. Singkat cerita, ketika sampai di Banjarmasin, Tjilik Riwut berusaha mendapatkan pekerjaan yang ada peluang untuk menghantarkannya ke Pulau Jawa.
Pada tahun 1942 di Banjarmasin, tengah malam ketika semua orang sedang tidur, Tjilik Riwut bangun dari tidurnya dan langsung membangunkan kawan-kawannya yang sedang terlelap tidur. Dengan begitu yakin Tjilik Riwut mengatakan kepada kawan-kawannya bahwa ayahndanya Riwut Dahiang malam ini telah dipanggil Yang Kuasa.
Tentu saja semua kawan-kawannya terheran-heran, tak satupun yang percaya bahkan mengira bahwa Tjilik Riwut sedang mimpi. Namun dengan mantap dan penuh keyakinan sekali lagi ia mengatakan bahwa semua ini benar karena penguasa Bukit Batu baru saja datang menemuinya menyampaikan pesan tersebut dan mengatakan bahwa sejak saat itu Tjilik Riwut adalah teman terdekatnya.
Tjilik Riwut meminta teman-temannya untuk mencatat kejadian tersebut lengkap dengan tanggal dan jam terjadinya peristiwa. Djainudin, Essel Djelau dan seorang teman lagi langsung mencatat walau tidak begitu yakin bahwa apa yang dialami Tjilik Riwut tersebut benar terjadi. Untuk mengecek kebenaran firasat tersebut hanya mungkin apabila ada seorang warga yang berasal dari Kasongan datang ke Banjarmasin. Saat itu komunikasi tidak semudah saat ini. Belum ada telepon, belum ada layanan pos, pengiriman berita mungkin terjadi apabila ada kenalan yang datang dari kampung halaman.
Suatu hari ketika seorang kawan datang dari Kasongan ke Banjarmasin, Tjilik Riwut bergegas menanyakan keadaan orang tuanya. Memang benar pada saat firasat dirasakan, pada saat itulah ayah tercintanya pergi menghadap ke hadirat Illahi.
Di masa Revolusi ketika Tjilik Riwut telah berhasil mencapai pulau Jawa bahkan telah terlibat aktif dalam perjuangan menantang Belanda, dalam suatu kesempatan ia pulang kampung dan balampah di Bukit Batu. Ia mohon petunjuk dalam perjuangannya melawan penjajah. Dalam kesempatan itupun Tjilik Riwut bernazar untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka . Sesuatu ia peroleh begitu usai balampah yaitu sebuah batu berbentuk daun telinga. Wangsit yang ia peroleh mengatakan bahwa batu tersebut dapat digunakan untuk mendengarkan dan memonitor musuh apabila diletakkan pada daun telinganya. Namun setelah kemerdekaan diperoleh oleh bangsa Indonesia, batu telinga itu pun gaib.
Peletakan Batu Pertama Kota Palangka Raya
Pada masa pascakemerdekaan, Palangka Raya pernah disiapkan untuk menjadi ibukota negara oleh Presiden Soekarno yang memimpin langsung pendirian kota ini dengan meletakkan batu pertama pembangunannya pada tahun 1957. Momen tersebut menjadi bagian penting dalam sejarah Palangka Raya.
Kini lokasi peletakan batu pertama dalam pembangunan Palangka Raya pun diabadikan dengan adanya sebuah tugu yang sekarang masih menjadi salah satu ikon kota dan stop point para wisatawan.
Tugu peletakan batu pertama pembangunan Palangka Raya memiliki beberapa elemen dan arti masing-masing. Bentuk lidah api di puncak tugu melambangkan semangat kemerdekaan dan pembangunan yang tak pernah padam. Sedangkan, 17 pilar yang berdiri di belakang tugu adalah simbol senjata untuk berperang.
Palangka Raya juga memiliki ikon lain yang tak bisa dipisahkan. Apalagi kalau bukan sebuah bangunan raksasa terbentang dan berdiri megah di atas Sungai Kahayan yang tenang, yaitu Jembatan Kahayan. Jembatan tersebut memang layak dikatakan maskot kota Palangka Raya. Terbentang sepanjang 640 meter dan lebar Sembilan meter, nampak eyecatching dengan desain unik berwarna merah menyala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar